Lekuk Takdir
Lekuk Takdir
Lekuk Takdir
Spesifikasi :
11 X 18 cm
248 Hal BW & Full Color
isi: Bookpaper 72 gram
cover: ivory 260 + laminasi Glossy
Softcover
ISBN : on process
Harga : Rp 93.000
Sinopsis :
Antologi ini merangkum suara-suara yang berani menatap balik tatapan kita. Ada yang bergerak di wilayah realisme sosial, ada yang berbelok ke alegori, mitos, dan noir. Ada yang menempuh jalan psiko-traumatik, ada yang menari di tepian sakral-profan. Semua bertemu pada satu titik, Lekuk Takdir.
Pada “Ranjang di Kamar Utama” (Sri Pangkey), rumah tak lagi jadi tempat aman, melainkan ruang gema trauma antar generasi, cemburu, bayang-bayang, dan sunyi yang membatu. Eros dan Thanatos saling berkejaran, memperlihatkan bagaimana kekerasan bisa tumbuh dari luka yang tak pernah dirawat.
“Malaikat Persetubuhan” (Erlyna) bekerja sebagai alegori dari mata-mata Tuhan, altar, dan penghakiman. Membentangkan pertanyaan lama yang selalu baru tentang dosa, persetujuan, dan harga yang dibayar manusia ketika menginginkan dan diinginkan.
“Tatapan Terlarang” (Bintang SH) menafsir ulang kisah yang kita kira telah usang, David dan Batsyeba. Di sini tubuh bukan sekadar objek hasrat, melainkan medan perebutan kuasa. Mengingatkan kita bahwa sejarah kerap disusun dari tatapan pemenang.
Pada “Patah Hati Paling Rapi” (Nurul Mahakartika), erotika bersilang jalan dengan kultus, ritual, dan ekonomi hasrat, yang terkuak bukan sensasi, melainkan biaya batin, rasa bersalah, kemarahan, dan cara seseorang berusaha mengambil kembali kendali atas hidupnya.
“Duhai Engkau yang Belum Kuberi Nama” (Lanang Irawan) merayakan pertemuan-perpisahan yang lembut sekaligus liar. Nama, kelas, dan masa lalu ditanggalkan di loteng yang reyot, menyisakan keintiman sebagai negosiasi paling jujur antara dua orang asing.
“Rahasia Maut” (Eunike Hanny) menyelinap ke thriller domestik, pesona, manipulasi, dan jerat predasi di ruang kerja. Mengingatkan bahwa bahasa rayuan bisa mudah berubah menjadi alat kontrol.
Pada “Death in D Minor” (Jenny Seputro), dunia musik klasik menjadi panggung intrik, kreativitas, kredit, dan kecemburuan. Erotika hadir sebagai risiko, penyamaran, sekaligus cara orang menegosiasikan kematian, karier, rahasia, hingga nyawa.
“Putik-Putik Racun” (Layla Nusayba) menyodorkan balas dendam yang dingin dan puitik. Panggung tayub, tubuh sebagai alat sekaligus agensi, racun sebagai titik balik. Sebuah pelajaran getir bahwa adil tak selalu berarti damai.
“Apa Kau Percaya, Dia Benar Ada?” (Sawsan Zeata) menganyam mitos El Silbón dengan kejahatan kontemporer, antara legenda dan vigilante, antara keyakinan massa dan tangan yang bekerja dalam gelap.
Cerita-cerita lainnya, “Dinding yang Hampir Retak”, “Dua Wajah Dosa”, “Malam Berlabuh di Tepian Neraka”, “Kâmânala Lanã”, “Masih Sekolah”, “Another Post Tantrum”, dan judul-judul lain dalam senarai mengisi spektrum dari psikodrama kamar-kamar sempit hingga liris metafisik, dari pasar yang riuh hingga aula konser yang sunyi. Semuanya memperluas pemahaman kita bahwa erotika adalah cara tubuh berbicara ketika kata-kata tak memadai.
Antologi ini memuat tema-tema dewasa yang dapat memicu sebagian pembaca, seperti kekerasan seksual, manipulasi, kematian, bunuh diri, penyakit, maupun penyalahgunaan zat. Redaksi percaya sastra berhak menatap wilayah yang sukar selama dilakukan dengan tanggung jawab estetika dan etika.